Oleh : Valerius P. Guru, S.Sos
(Pranata Humas Badan Perpustakaan Daerah Provinsi NTT)
UMAT Kristiani sejagat termasuk yang berada di Indonesia; khususnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur, telah melaksanakan hak-hak rohani mereka yakni ibadah dan atau perayaan misa di gereja-gereja (Katolik maupun Protestan) untuk mengenang dan memperingati kisah sengsara, wafat dan kebangkitan Tuhan Yesus atau Isa Almasih terhitung sejak Kamis 2 April hingga Minggu Paskah 5 April 2015 silam.
Di dalam berbagai literatur rohani umat Kristiani tertulis, paling tidak ada tujuh (7) kalimat wasiat dari atas salib Yesus Kristus sebelum menghembuskan nafas-Nya yang terakhir. Pertama, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Luk.23:34); kedua, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.” (Luk. 23:42-43); ketiga, “Ibu, inilah anakmu ! Inilah ibumu ! (Yoh. 19:26-27); keempat, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat 27:45-46); kelima, “Aku haus !” (Yoh.19:28); keenam, “Sudah selesai.” (Yoh 19:30); dan ketujuh, “Ya Bapa ke dalam tangan-Mu, Ku serahkan nyawa-Ku.” (Luk 23;46).
Di titik ini muncul pertanyaan kecil yang sungguh amat menggelitik setiap hati umat Kristiani yakni mengapa umat Kristiani percaya bahwa Yesus Kristus adalah Juru selamat manusia atas dosa dan maut? Pertama, Allah mengasihi kita (manusia) sehingga Ia rindu untuk memiliki hubungan yang erat kembali dengan manusia, tetapi dosa (selalu) menjadi penghalang. Kedua, Allah menyediakan jalan keselamatan melalui Yesus Kristus; dengan mengutus DIA untuk menjadi korban penebusan dosa. Ketiga, saudara harus menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamat saudara secara pribadi, sehingga saudara dapat diperdamaikan dengan Allah.
Karena itu, maka salib Yesus Kristus adalah silang pertemuan klaim massa (umat Yahudi, kaum farisi dan para ahli Taurat pada zaman Yesus) yang mengatasnamakan agama dan ketaatan Yesus kepada kehendak Bapa. Dan semuanya telah selesai. Pesta rohani umat Kristiani pun telah berakhir. Lalu apa makna rohani yang bisa kita terima dari dalam melaksanakan peri kehidupan kita sehari-hari?
Pertama, untuk para pemimpin (baik pemimpin pemerintahan maupun pemimpin agama). Mari ikuti dan teladani ‘pesan keramat” yang disampaikan Yesus Kristus bahwa menjadi pemimpin sebenarnya mengemban misi pelayanan. Menjadi pemimpin bukan untuk disembah, dihormati apalagi dipuja-puji oleh orang-orang yang dipimpinnya. Tetapi menjadi pemimpin harus berani mengambil peran untuk melayani. Adakah pemimpin yang bersedia untuk melayani orang-orang yang dipimpinnya? Penulis teringat pesan Uskup Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang, Pr dalam khotbah pada misa Jumat Agung (3/4/2015) di Gereja Katolik Santa Maria Asumpta Walikota Baru Kupang. Uskup Turang meminta umat Katolik untuk tidak memperalat Yesus Kristus. “Jangan peralat Yesus. Apa yang menyenangkan kita pakai Yesus; tetapi apa yang tidak menyenangkan kita tolak Yesus. Orang yang percaya pada Yesus selalu punya hati. Teladan ketaatan Yesus harus kita teladani; dan kita tidak pernah ditipu oleh salib Yesus. Kita saja yang mungkin sering tipu yesus dengan salib itu,” kata Uskup Turang.
Kedua, untuk umat Kristiani. Jadikanlah momentum perayaan Paskah tahun 2015 ini, sebagai ajang untuk bekerja lebih keras lagi; meski saat ini kita semua sedang didera kenaikan harga-harga. Jangan sekali-kali menggadaikan iman/agama-mu untuk mendapatkan atau memperoleh harta duniawi yang tak bernilai untuk kehidupan rohanimu. Nyatakan dengan tulus dan tegas bahwa martabat kemanusiaan anda sekalian tidak diukur dengan materi atau pecahan-pecahan rupiah yang tidak diketahui dari mana asalnya. Dan semuanya sudah selesai.
Kita semua berharap agar momentum Paskah tahun ini harus bisa meneguhkan hati kita di tengah dunia yang penuh dengan ketidakteguhan. Sebab Paskah Tuhan bukan sekadar perjumpaan Allah dalam doa, nyanyian dan gestikulasi. Tetapi Paskah Tuhan adalah ekspresi sukacita kemenangan kebaikan terhadap kejahatan dan kehidupan terhadap kematian. Lebih dari itu, Paskah adalah perutusan untuk menyingkapkan fajar baru yang menghalaukan kegelapan di tengah dunia yang fana ini.
Sejalan dengan hal itu, Uskup Diosis Amboina, Mgr. Petrus C. Mandagi, MSC meminta kepada umat Kristiani untuk berani mewartakan kabar kebenaran dan kabar sukacita. “Dalam kehidupan nyata masih ada banyak orang tidak berani memperjuangkan dan mengungkapkan kebenaran. Kehancuran terjadi karena banyak orang baik memilih bungkam. Itu terjadi karena orang baik itu takut kehilangan jabatan,” tegas Uskup Mandagi, dalam khotbahnya di gereja Katedral Ambon (5/4/2015) seperti dilansir Kompas, Senin 6 April 2015.
Di titik ini, semua kita tentu mengharapkan agar momentum perayaan Paskah tahun ini; menginspirasi dan memotivasi kita sekalian, agar mampu dan terus berkarya demi membangun NTT Baru yang dicita-citakan bersama. NTT yang bebas dari kemiskinan, keterbelakangan infrastruktur, praktek penjualan atau perdagangan manusia, serta bebas dari berbagai praktek kerja birokrasi yang berbau kolusi, korupsi dan nepotisme. (*)