Lewoleba, mediantt.com — Keharmonisan hubungan antara Desa Lamalera B dan Desa Posiwatu, Kecamatan Wuladoni, sepertinya mulai tercoreng. Ini dipicuh oleh klaim kepemilikan tanah oleh suku Lakawolo, di Dusun Krokovolor, Desa Laalera B, Kecamatan Wulandoni, atas tanah di Ipawetak dan sekitarnya. Padahal selama ini tanah tersebut menjadi hak ulayat Desa Posiwatu, khususnya suku Baran dan Narek. Ada apa?
Kepada mediantt,com di Lewoleba, Senin (16/2/2015) lalu, salah seorang pemangku adat Desa Posiwatu, Sander Lanang, menjelaskan kronologis masalah tersebut. Ia bercerita, alasan terjadinya polemik tanah ulayat antara suku Lakawolo di Desa Lamalera B, dan suku Baran dan Narek dari Desa Posiwatu.
“Kami masyarakat adat dari suku Baran dan Narek diundang oleh suku Lakawolo untuk hadir dalam pertemuan pada 4 Januari 2015 di Krokovolor, di Rumah Adat Suku Lakawolo, Desa Lamalera B. Dalam pertemuan itu kami bicara tentang status tanah dari Ipawetak sampai dengan Posiwatu, Ongalere dan sekitarnya. Terkesan kami ditekan dan dipaksa untuk mengakui tanah garapan dan ulayat kami di Posiwatu dan sekitarnya yang adalah tanah warisan nenek moyang kami dari dulu sampai saat ini, harus kami serahkan ke suku Lakawolo, karena mereka mengkalim bahwa tanah itu adalah milik suku Lakawolo,” katanya.
Hal yang sama ditegaskan Kristo Lanang, seorang tokoh muda Posiwatu. Ia juga mengutuk tegas tindakan sepihak suku Lakawolo. “Tanah dari Ipawetak (berbatasan dengan Imulolong) sampai dengan di Posiwatu dan Ongalere dan sekitarnya, adalah tanah ulayat suku Baran dan Narek yang berada di Desa Posiwatu,” tegasnya.
Ia juga mempertanyakan dasar hukum dan bukti yang membenarkan kalau tanah ulayah itu milik suku Lakawolo, sehingga sangat berani mau merampas dan mengambil tanah adat yang sudah sekian lama digarap untuk memberikan kehidupan untuk warga Posiwatu, khususnya suku Baran dan Narek.
Menurutnya, ada bukti sejarah yang menjadi kekuatan mereka terkait kepemilikan tanah dari Ipawetak sampai Posiwatu, Ongalere dan sekitarnya, dan bukti tersebut masih ada berupa keris dan kubur leluhur yang menjadi tapal batas tanah.
”Kita jangan asal bicara tanpa bukti sejarah, Kami bicara berdasarkan bukti dan tutur yang di wariskan oleh nenek moyang kami dari generasi ke generasi. dan kami siap untuk membawa persoalan ini ke meja hijau,” tegasnya.
Perwakilan suku Lakawolo, Nasu Lakawolo, ketika dikonfirmasi tidak bersedia memberikan keterangan soal status tanah yang diklaim milik marganya. Ia malah mengancam wartawan untuk akan berhadapan dengan dia jika masalah ini diberitakan. Padahal, keluarganya di Denpasar Bali yang merekomendasikan Nasu Lakawolo untuk bicara atas nama mereka tentang status tanah tersebut.
Di Dusun Krokovolor – pindahan dari Dusun Ongaona/kampung lama—, warga suku Lakawolo yang tertua hanya tersisa Nasu Lakawolo itu, yang lain berdomisili di luar, ada yang di Denpasar, ada pula di Maumere. Karena itu, banyak yang merasa ragu dan mempertanyakan dari mana klaim sepihak atas kepemilikan tanah dengan suku Narek dan Baran itu. (eman bataona)