JAKARTA – Rapat paripurna DPR, Selasa (17/2), akhirnya menyetujui revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan UU Pemda. Sejumlah poin perubahan berhasil disepakati, termasuk pelaksanaan pilkada serentak yang akan dimulai pada 2027 dan sengketa hasil pilkada yang tetap melalui Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua Komisi II Rambe Kamarul Zaman mengungkapkan poin-poin perubahan dalam UU Pilkada. Sebelumnya, komisi II DPR dan pemerintah melakukan rapat kerja membahas revisi UU Pilkada mulai 10 Februari 2015.
Pertama, pengajuan dilakukan secara berpasangan. Yakni, kepala daerah dan satu wakil kepala.
Kedua, mengenai uji publik atau sosialisasi, komisi II dan pemerintah menyepakati hal tersebut dilakukan oleh parpol atau gabungan parpol pengusung pasangan kepala daerah.
Ketiga, penguatan tugas pendelegasian KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pilkada. Kedua lembaga tersebut tetap menjadi badan penyelenggara.
Keempat, syarat minimal pendidikan dan minimal usia pencalonan. Yakni, minimal pendidikan adalah SLTA/sederajat serta syarat usia minimal 30 tahun untuk pasangan gubernur dan 25 tahun untuk pasangan bupati dan walikota.
Kelima, syarat dukungan penduduk terhadap perseorangan ditingkatkan 3,5 persen dari jumlah penduduk. Jadi, kisarannya adalah 6,5 persen sampai 10 persen. Dengan alasan utama, yakni harus disesuaikan dengan syarat dukungan bagi calon yang ditentukan parpol atau gabungan parpol. Yaitu, minimal 20 persen kursi di DPRD atau 25 persen perolehan suara pada saat pemilu.
”Selain itu, terkait dengan substansi lain tentang penentuan kemenangan ditentukan oleh suara terbanyak. Maka, peningkatan syarat dukungan bagi calon perseorangan ini menjadi relevan. Agar setiap calon sudah memiliki dasar legitimasi yang cukup melalui dukungan tersebut,” jelas Rambe.
Poin keenam berkaitan dengan ambang batas pemenangan bagi pasangan calon. Komisi II dan pemerintah menyepakati pemenangan pasangan bagi calon ditentukan berdasarkan perolehan suara terbanyak. ”Tujuannya adalah untuk efisiensi waktu maupun anggaran,” katanya.
Dengan demikian, menurut dia, proses pemilihan menjadi lebih sederhana. Namun, jika terjadi kondisi hasil perolehan yang sama antarcalon, maka pemenangnya ditentukan berdasarkan pesebaran luasan perolehan suara.
Ketujuh, pelaksanaan pilkada serentak akan dilakukan dalam beberapa tahapan. Tahap pertama dilaksanakan pada Desember 2015 untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2015 dan semester pertama 2016. Lalu, tahap kedua, dilaksanakan pada Februari 2017 untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada semester kedua 2016 dan 2017.
Tahap ketiga diselenggarakan Juni 2018 untuk yang kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2018 dan 2019. Setelah itu, pilkada serentak nasional dilaksanakan 2027.
Delapan, tentang penjabat kepala daerah diperoleh kesepakatan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. ”Yaitu, bagi penjabat gubernur diisi oleh penjabat tinggi madya dan penjabat bupati/ walikota diisi oleh penjabat aparat keamanan,” papar Rambe.
Poin kesembilan, tambahan syarat calon kepala daerah adalah tidak bolehnya calon terkait dengan tindak pidana. Sepuluh, tentang penyelesaian hasil pemilihan. Sebelum terbentuknya badan peradilan khusus, yang menangani proses penyelesaian hukum adalah Mahkamah Konstitusi (MK). ”Badan peradilan khusus tersebut akan dibentuk sebelum pilkada serentak pada 2027,” ungkapnya.
Sebelas, soal pembiayaan pilkada akan dibebankan pada APBD dan dibantu APBN. (jp/jdz)