KOMISI Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan praktik sunat perempuan masih terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia, baik hanya sebagai bentuk simbolis sampai pemotongan bagian reproduksi perempuan.
Penyebabnya, kata Wakil Ketua Komnas Perempuan Masruchah, karena faktor budaya dan pandangan keagamaan.
“Di Jawa, misalnya, masih ada beberapa daerah yang mempraktikkan itu. Ini juga dipengaruhi tafsir agama. Misalnya, dalam muktamar NU di Sulawesi Selatan ada kajian, karena faktor budaya juga diadopsi, maka sunat perempuan dimuliakan. Tapi, itu kan perspektif laki-laki,” kata Masruchah.
Dia menenegaskan, karena ini persoalan perempuan, seharusnya yang bisa mengambil keputusan adalah kaum perempuan.
Masruchah menegaskan, praktik seperti ini seharusnya dihapus karena berdampak pada kesehatan reproduksi.
Ia mengatakan, banyak perempuan tidak mampu melahirkan karena ada bagian dari alat reproduksinya yang hilang.
“Atau ketika sedang melakukan relasi seksual, dia tidak pernah merasakan kenikmatan karena alat yang sensitif itu sudah tidak ada lagi. Bagian yang seharusnya dimiliki perempuan itu sudah hilang. Kalau sudah laki beda, itu kan untuk kesehatan, kalau perempuan tidak ada hubungannya dengan kesehatan.”
Pada 6 Februari merupakan Hari Internasional Anti Sunat Perempuan. Menurut data, ada lebih dari 140 juta perempuan di seluruh dunia harus menjalani sunat atau dikenal dengan istilah female genital mutilation (FGM), dan 86 juta perempuan berisiko mengalami itu jika praktik ini dibiarkan sampai 2030.
Di Indonesia, sunat perempuan sudah dilarang, tapi ternyata banyak praktik sunat perempuan dilakukan diam-diam. Bahkan di Jakarta, banyak keluarga yang masih menganut sunat perempuan ini. (portalkbr.com)