Sikapi Seteru KPK-Polri, Jokowi Beda dengan SBY

by -122 views

JAKARTA – Pidato Presiden Joko Widodo yang kedua dalam menyikapi konflik KPK dan Polri tetap dianggap tidak menyelesaikan masalah. Pernyataan Jokowi dinilai tak akan menghentikan segala tindakan pelemahan pemberantasan korupsi yang kini tengah dialami KPK.

Deputi Pencegahan KPK Johan Budi S.P. menyebutkan, pidato presiden pada Minggu (25/1) sama dengan pernyataan sikapnya saat di Istana Bogor Jumat siang (23/1). ’’Apa yang dilakukan beliau dengan memanggil para tokoh itu patut diapresiasi. Namun, isi dari pidato itu hanya normatif, persoalan ini hanya kembali diserahkan ke KPK dan Polri,’’ ujar Johan.

Langkah-langkap konkret yang seharusnya dilakukan presiden tidak terungkap dalam pidato tersebut. ’’Berbeda ketika Presiden SBY menyelesaikan kasus yang disebut masyarakat sebagai cicak versus buaya dulu. Saat itu jelas langkahnya, dibentuk tim untuk menilai duduk perkara itu,’’ jelasnya.

Sikap presiden yang dinilai belum konkret itu dikhawatirkan masih akan menimbulkan upaya-upaya pelemahan KPK. Sebab, sebelumnya sejumlah pihak khawatir pelemahan KPK melalui upaya memidanakan para pimpinannya akan terus terjadi.

Kalimat untuk tidak mengkriminalisasi yang diucapkan Jokowi dalam pidatonya juga disikapi sendiri oleh Polri. Korps Bhayangkara mengartikan bahwa penanganan kasus Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto tidak bisa dilihat kriminalisasi atau bukan. Menurut mereka, itu baru bisa dibuktikan di persidangan.

Kadivhumas Mabes Polri Irjen Ronny F. Sompie menjelaskan, pidato Presiden Jokowi terkait konflik KPK dan Polri itu sudah sangat tepat. Polri sejak awal memastikan tidak boleh ada kriminalisasi atau mencari-cari kesalahan siapa pun, termasuk pimpinan KPK. ”Pidato Presiden Jokowi sudah betul, kok,” ujarnya saat dihubungi setelah pidato presiden.

Versi Polri, upaya kriminalisasi itu hanya bisa dibuktikan di pengadilan. Kalau memang di pengadilan membuktikan BW tidak bersalah, langkah Polri adalah kriminalisasi. ”Kalau ternyata BW tidak melanggar hukum, ya itu kriminalisasi,” ujarnya.

Kalau justru sebaliknya, BW dinyatakan bersalah, langkah Polri menetapkan BW sebagai tersangka dan menyeretnya ke pengadilan itu bukan kriminalisasi. ”Kriminalisasi hanya bisa dibuktikan di pengadilan,” terang mantan Kapolwiltabes Surabaya tersebut.

Dengan demikian, kasus BW dan Adnan Pandu Praja yang baru dilaporkan tentu akan terus berlanjut hingga ke pengadilan. Dia menjelaskan, Polri saat ini sedang menyelidiki perbuatan melawan hukum. ”Kami harap semua menghormati proses hukum yang berjalan,” terangnya.

Saat ini, untuk kasus BW –kesaksian palsu di Mahkamah Konstitusi (MK)– Polri telah memiliki tiga alat bukti. Yakni, keterangan saksi dan saksi ahli sekaligus dokumen berupa surat-surat. Hal tersebut tentu akan menjadi bukti yang kuat di pengadilan nanti. ”Bukti ini yang mendasari Polri menetapkan tersangka,” papar Ronny.

Presiden menyampaikan pidatonya setelah bertemu dengan sejumlah tokoh. Yakni, mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, mantan Wakapolri Komjen (Purn) Oegroseno, pakar hukum UI Hikmahanto Juwana, pengamat hukum Bambang Widodo, mantan wakil Ketua KPK Erry Riyana Harjapamenkas, dan mantan Ketua KPK Tumpak Hatorangan. Satu orang lagi berhalangan hadir, yaitu mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafi’i Ma’arif.

Jokowi mengundang tokoh-tokoh itu untuk dimintai pendapat. Bahkan, ada kemungkinan, mereka akan menjadi tim indepen untuk ikut mencari pemecahan konflik KPK-Polri.

Setelah pertemuan, presiden menyatakan kalau institusi KPK maupun polri harus menjaga kewibawaaan sebagai institusi penegak hukum. Oleh sebab itu, tidak boleh ada kriminalisasi. ”Saya ulang, jangan ada kriminalisasi,” kata Jokowi.

Sementara itu, anggota tim yang bertugas mencari fakta konflik KPK-Polri Oegroseno menjelaskan, persepsi Polri bahwa kriminalisasi hanya bisa dibuktikan dalam pengadilan itu boleh-boleh saja. ”Yang jelas, kami bertugas untuk memberikan fakta-fakta yang banyak kepada presiden agar bisa memberikan keputusan terhadap masalah konflik kedua lembaga negara,” terangnya.

Tentunya, semakin banyak fakta yang diberikan kepada presiden akan jauh lebih baik. Dengan begitu, Jokowi bisa memberikan keputusan yang terbaik. ”Namun, presiden tidak akan mengintervensi proses hukum,” ujarnya.

Sejumlah pegiat antikorupsi sebenarnya berharap presiden bertindak konkret. Salah satu bentuknya, menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk memberikan impunitas (kekebalan hukum, tidak dapat dipidana) kepada para komisioner KPK.

Pakar hukum tata negara sekaligus mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana menjelaskan, penetapan Bambang Widjojanto (BW) sebagai tersangka dan pelaporan Adnan Pandu Praja dalam kasus kepemilikan saham secara ilegal merupakan bentuk kriminalisasi para pimpinan KPK.

Peristiwa itu juga tak bisa dipisahkan dari penetapan Komjen Budi Gunawan karena dua kasus tersebut tengah ditangani Bareskrim Mabes Polri. ”Pimpinan KPK kini tengah dikriminalisasi. BW sudah ditersangkakan, Adnan Pandu tengah dilaporkan, sebelumnya Abraham Samad dipermasalahkan. Selanjutnya, tak menutup kemungkinan Zulkarnaen,” ujar Denny.

Informasi yang berkembang di internal KPK, segelintir pihak kini berupaya menggiring Zulkarnaen terlibat dalam kasus korupsi program penanganan sosial ekonomi masyarakat (P2SEM). Kasus itu bergulir ketika Zulkarnaen menjabat kepala kejaksaan tinggi di Jawa Timur. Dia dituding menerima suap dalam penanganan perkara tersebut.

Denny berharap BW tidak mengajukan surat pengunduran diri atas penetapan dirinya sebagai tersangka. Meski, itu sebenarnya diatur dalam UU KPK. Hal tersebut disarankan karena kasus itu kental kriminalisasi. ”Lebih baik dalam kasus ini dibentuk tim independen untuk memverifikasi kasus BW, seperti saat terjadi kriminalisasi terhadap pimpinan KPK sebelumnya, Chandra Hamzah dan Bibit Samad,” ujarnya.

Dia menilai, seharusnya Jokowi tepat jika segera mengeluarkan perppu untuk menghentikan kriminalisasi terhadap para pimpinan KPK. Perppu itu mengatur impunitas bagi pimpinan KPK selama menjabat di lembaga antirasuah tersebut.

”Sebab, kasus semacam ini seringkali terjadi, bahkan sudah seperti siklus,” ujarnya. Impunitas perlu diberikan kepada para pimpinan KPK untuk mencegah pelemahan KPK karena instansi tersebut tengah menangani kasus-kasus besar. Penguatan seperti itu juga terjadi di lembaga antikourpsi di negara lain.

Saat ini memang berkembang informasi upaya kriminalisasi terus dilakukan terhadap pimpinan KPK. Strategi yang telah dibaca adalah target menjadikan Zulkarnaen sebagai tersangka, kemudian menonaktifkan Abraham Samad atas kasus pertemuan dengan elite parpol untuk pencalonannya sebagai wakil presiden Jokowi. Karena itulah, perppu impunitas itu penting agar pelemahan KPK yang kerap terjadi dengan menyerang para pimpinannya tidak terulang.

Sementara itu, Gubernur Jawa Tengah sekaligus politikus PDIP Ganjar Pranowo mengatakan, saat ini situasi sudah semakin rumit sehingga presiden harus melakukan tindakan konkret. Menurut dia, jika dibiarkan, situasi akan semakin liar. Dia mengibaratkan, saat ini bola sudah berada di depan gawang. Yang bisa menendang hanya presiden.

Salah satu langkah atau pilihan presiden adalah mengeluarkan perppu. Perppu itu ditujukan kepada pimpinan KPK agar dalam bertugas tidak bisa dikriminalisasi. ”Bentuknya memang berupa perppu impunitas. Perppu itu harus dikeluarkan saat ini karena penegakan hukum sudah dalam kondisi darurat,” ujar Ganjar saat menghadiri acara Lembaga Survei Indonesia (LSI) di Jakarta.

Jika ada pihak yang mendukung, tentu ada pihak-pihak yang kontra terhadap usulan penerbitan perppu impunitas. Pihak yang menolak merupakan orang-orang yang selama ini kerap mempermasalahkan kinerja KPK.

Komisi III DPR sebagai mitra kerja KPK termasuk yang menolak. Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin tidak sependapat jika dikeluarkan aturan impunitas terhadap pejabat. ”Saya tidak setuju hak impunitas, itu tidak bisa diberikan sembarangan,” ujar Aziz.

Menurut Aziz, semua pihak, apa pun jabatannya, sama di mata hukum. Bahkan, presiden tidak memiliki impunitas dalam kasus pidana hukum. Jika nanti ada impunitas terhadap pimpinan KPK, lembaga lain berhak mendapatkannya.

”Nanti presiden minta impunitas, menteri, anggota DPR minta juga, nanti wartawan juga minta, repot,” kata politikus Partai Golongan Karya itu.

Aziz menilai, jika ada pejabat yang tersangkut kasus hukum, semuanya memiliki hak dan kewajiban yang sama.

Menurut Aziz, jika merasa penetapannya sebagai tersangka ganjil karena tidak memenuhi prosedur yang berlaku, seorang pejabat harusnya mengajukan gugatan praperadilan. ”Semua proses yang tidak sesuai mekanisme dan aturan ada proses praperadilan, demi check and balances,” tegasnya.

Terkait permintaan dikeluarkannya SP3 terhadap pimpinan KPK berstatus tersangka, Aziz juga keberatan. Menurut dia, jika SP3 ingin dikeluarkan, hal itu harus melalui prosedur yang berlaku. ”Proses SP3 harus dilakukan gelar perkara secara hukum dan semua pihak harus hormati proses hukum,” tegasnya. (jp/jdz)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *