Dilema Eks Pengungsi di Timor Barat

by -144 views

Ketika Arminda Morera melarikan diri dari Timor Leste setelah memilih merdeka 15 tahun lalu, ia menyadari ia meninggalkan tanah leluhurnya demi masa depan yang pasti di Indonesia.

Wanita berusia 60 tahun itu meninggalkan tanah dan ternaknya serta berharap akan memperoleh hidup yang lebih baik di perbatasan Indonesia. Tapi, 15 tahun kemudian, katanya, keluarganya masih hidup pas-pasan, berjuang untuk membeli makanan, obat-obatan dan bahkan pendidikan anak-anaknya. Itu semua bermuara pada satu masalah, katanya, adalah tanah.

“Sebagai petani, masalah utama kami adalah kami tidak memiliki hak atas tanah dimana kami tinggal sekarang,” kata Arminda. “Kami tidak mampu membeli tanah untuk pertanian atau membangun rumah permanen.”

Ia mengatakan, prospek keuangan keluarganya tetap tidak berubah sejak tiba di Timor Barat sebagai pengungsi. Keluarganya tinggal di rumah kayu  berukuran kecil di Kabupaten Belu.

Arminda mengatakan bahwa ia telah berharap pemerintah Indonesia memberikan sertifikat tanah kepada dia dan pengungsi lainnya. Tapi, setelah 15 tahun harapannya telah memudar. Keluarganya masih bergantung pada kemurahan hati masyarakat lokal dengan menggarap lahan mereka.

“Saya yakin pemiliknya akan mengambil kembali, cepat atau lambat,” katanya.

Ini sebuah masalah yang dihadapi oleh banyak eks pengungsi Timor Timur di Timor Barat. Ketika Timor Leste memilih untuk merdeka melalui referendum yang disponsori PBB tahun 1999, Arminda dan keluarganya memilih bergabung dengan Indonesia.

Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) melaporkan bahwa sekitar 250.000 warga Timor Timur melarikan diri ke Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 1999 ketika negara itu menghadapi kekacauan politik menyusul referendum tersebut. Lebih dari setengahnya menetap di Kabupaten Belu atau Kabupaten Kupang.

Selama tiga tahun, mereka dapat bantuan dari pemerintah Indonesia dan luar negeri, serta LSM lokal dan internasional. Namun, bantuan itu sebagian besar habis. Sekarang, banyak eks pengungsi Timor Timur mengatakan mereka menghadapi dilema: apakah mereka harus kembali ke tanah kelahiran atau bertahan?

Di sebuah desa di Kabupaten Kupang, tokoh masyarakat Francisco Ximenes mengatakan lebih dari 1.200 orang terancam digusur karena mereka menggunakan lahan militer. Rencananya  tahun depan mereka akan digusur.

“Ini hanya sebuah masalah waktu karena tanah tersebut akan diambil kembali,” katanya kepada ucanews.com. “Bagi mereka yang tidak mampu  membeli tanah, kemana mereka akan pergi? Orang-orang berada dalam dilema.”

Pulang ke Timor Leste

Menurut data  Kementerian Perumahan Rakyat 2012, lebih dari 4.700 KK masih tinggal di kamp-kamp pengungsian yang tersebar di dua kabupaten sepanjang perbatasan dengan Timor Leste. Namun,  jumlah tersebut mungkin jauh lebih tinggi.

Mantan Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono telah menyatakan secara terbuka dengan melihat kondisi hidup mantan pengungsi ini, dan meluncurkan proyek perumahan untuk mengatasi masalah ini.

Namun, tokoh masyarakat seperti Ximenes mengatakan upaya tersebut dapat membuang-buang uang jika mereka tidak mengatasi masalah inti – tanah.

“Perumahan bukan masalah besar,” katanya. “Karena orang memiliki lahan pertanian, mereka akan memiliki uang dan cepat atau lambat membangun rumah yang layak.”

Aktivis Deonato Moreira, ketua Circle of Imagine Society Timor (CIS Timor) di dua kabupaten Timor Barat, mengatakan pemerintah tahun 2004 menyalurkan  dana kepada setiap keluarga pengungsi untuk membangun rumah. Namun, pembangunan rumah permanen membutuhkan lahan.

“Tanah adalah penting bagi para eks pengungsi,” katanya. “… Namun, karena mereka tidak memiliki lahan untuk pertanian, banyak yang frustrasi dan berpikir untuk kembali ke Timor Leste.”

Namun, para pejabat setempat mengatakan pemerintah telah melakukan yang terbaik untuk membantu eks pengungsi Timor Timur dan menyerukan  lahan gratis tidak terealisasi.

“Kepemilikan lahan adalah masalah serius,” kata Ulu Emanuel, seorang asisten administrasi yang bertugas membantu masyarakat terpinggirkan di Kabupaten Belu. “Tentu saja, pemerintah tidak bisa memberi mereka tanah secara gratis karena masyarakat setempat akan marah.”

Ulu mengatakan  banyak mantan pengungsi membutuhkan perhatian serius – orang yang tidak memiliki lahan masih tinggal di rumah kayu sementara, dengan sedikit penghasilan – menjual kayu bakar atau sayur-sayuran. Namun, ia menambahkan, banyak mantan pengungsi juga mengintegrasikan diri dengan masyarakat lokal dan bisa mengubah hidup mereka.

Carmelita Moniz, ketua Komisi A DPR Timor Leste, mengatakan pemerintah akan menerima eks pengungsi “dengan tangan terbuka”.

“Mereka boleh datang setiap saat. Semua mereka (perlu) berkomunikasi dengan kepala desa di Timor Leste dimana mereka tinggal sebelumnya, seraya mengungkapkan niat mereka, dan kepala desa kemudian akan melaporkan kepada kementerian hukum,” kata Moniz.

“Mereka akan memiliki hak penuh sebagai warga negara setelah kementerian hukum mengeluarkan sertifikat yang menunjukkan bahwa mereka adalah warga negara Timor Leste.”

Dia juga mengatakan mereka yang kembali “diperbolehkan  mengelola lahan mereka yang ditinggalkan sebelum melarikan diri ke Indonesia”.

Namun, dia mengingatkan, “Ini tidak berlaku bagi mereka yang telah melakukan kejahatan kemanusiaan seperti pembunuhan, pembakaran rumah atau properti lain. Jika kejahatan mereka dicatat dan mereka telah dihukum oleh pengadilan Timor Leste, mereka harus menjalani sidang.”

Keputusan sulit

Tidak semua mantan pengungsi ingin kembali ke Timor Leste. Edio Casmiro, 30, tinggal di salah satu kamp pengungsian di Kabupaten Kupang. Dia setuju bahwa hidupnya telah sedikit perbaikan sejak tiba di Timor Barat ketika remaja.

“Saya sekarang telah menikah. Tapi, saya tidak mampu  membangun rumah yang lebih besar karena tidak ada lahan,” kata Edio, yang tinggal di rumah kecil berukuran 5 x 7 meter bersama 10 orang lain.

Edio mengatakan ia telah mempertimbangkan kembali ke Timor Leste, tetapi ia khawatir ia akan menghadapi kondisi yang sama seperti saat ini. “Ini berarti saya harus mulai dari nol,” katanya.

Memutuskan untuk kembali ke tempat leluhurnya,  bisa menjadi pilihan yang memilukan.

“Dalam budaya Timor Leste, keluarga berperan penting dalam kehidupan seseorang,” kata Pastor Jeffry Bonlay, seorang imam di sebuah paroki yang memiliki lebih dari 12.000 orang Timor Timur.

“Pemisahan dari keluarga dan tanah air mereka tahun 1999 sudah menjadi pengalaman pahit, dan mereka tidak ingin berpisah lagi dengan anggota keluarga dimana mereka berada sekarang.”

Namun, kembali ke Kabupaten Belu, Arminda  mengatakan keluarganya telah mengambil keputusan. Mereka hanya menunggu anak mereka untuk menyelesaikan kuliah. Tapi, kesulitan keuangan  kemungkinan akan terus berlanjut, tidak peduli dimana mereka tinggal.

“Kami berencana untuk kembali ke Timor-Leste,” katanya. “Saya berharap mereka akan menerima kembali kami.” (siktus harson/felixianus ali)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *