Mengkritisi Politik Plinplan PAN

by -150 views

JAKARTA – Sikap Partai Amanat Nasional (PAN) dalam sidang paripurna pengambilan keputusan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu di Gedung DPR, pekan lalu, mengundang tanda tanya besar. Partai pimpinan Zulkifli Hasan yang juga Ketua MPR itu bersama tiga partai lain, yaitu Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera, dan Demokrat, melakukan walk out dalam voting pengesahan RUU tersebut. Langkah PAN itu tentu sangat disesalkan sejumlah partai koalisi.

Pada saat partai-partai anggota koalisi pendukung pemerintah lainnya, seperti PDIP, Golkar, NasDem, PKB, dan PPP, bekerja keras merapatkan barisan untuk mengegolkan posisi pemerintah dalam RUU Pemilu, PAN sebaliknya justru mengambil langkah yang selaras dengan partai-partai ‘oposisi’. Posisi fraksi-fraksi pendukung pemerintah dalam sidang paripurna itu sangatlah jelas.

Fraksi PDIP, Golkar, NasDem, PKB, dan PPP memilih putusan paket A dengan perincian ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20%-25%, parliamentary threshold 4%, sistem pemilu terbuka, alokasi kursi 3-10 kursi, dan metode konversi suara sainte lague murni. Sebaliknya PAN dalam rapat paripurna tidak ikut berjuang untuk mengegolkan paket tersebut.

Mereka justru menolak opsi pemerintah dan berpihak kepada opsi yang diambil barisan partai ‘oposisi’ dengan melakukan walk out. Padahal, sehari sebelum voting berlangsung, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, seperti disebutkan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, menegaskan komitmen untuk tetap setia dalam barisan koalisi pemerintahan. Nyatanya, komitmen dan janji setia PAN tidak dapat dipegang, setidaknya dalam kasus pengambilan keputusan terkait dengan RUU Pemilu.

Dari sisi etika atau fatsun politik, langkah PAN tersebut jelas bukan sikap yang patut, melainkan sikap plintat-plintut. Selain ingkar janji kepada Presiden Joko Widodo, PAN juga telah menunjukkan loyalitas yang teramat rendah sebagai anggota koalisi pemerintah. Ibarat ungkapan ‘pagi kedelai sore tempe’, perilaku politik PAN bisa dikatakan mencla-mencle. Ketua umum bilang koalisi, fraksi ternyata oposisi.

Padahal PAN secara resmi telah menjadi partai pendukung pemerintah sejak awal September 2015 setelah dalam Pilpres 2014 berada di barisan Koalisi Merah Putih yang mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Dalam ukuran apa pun, baik level individu, kelompok, organisasi, lembaga, maupun negara, ingkar janji, tidak setia, dan tidak amanah merupakan sikap tercela. Ironisnya, sikap itu yang dipilih PAN.

Apa pun alasan dan pembenarannya, kita sekali lagi, sangat menyesalkan sikap tidak kesatria yang dipilih PAN tersebut. Karena itu, kita mendorong agar koalisi pemerintah memandang serius pembelotan PAN tersebut. Evaluasi harus dilakukan terhadap posisi PAN dalam koalisi.

Prinsip reward and punishment harus ditegakkan agar kasus yang sama tidak terulang dalam koalisi pendukung pemerintah. Dalam kasus PAN, Presiden Joko Widodo tidak perlu ragu jika berniat menggunakan hak prerogatifnya untuk mencopot kader PAN yang duduk di Kabinet Kerja dan lembaga lain.

Kita tidak bisa menoleransi sikap plinplan dan tidak loyal. PAN harus memilih untuk berada di dalam atau luar pemerintahan, dan dalam kasus yang terakhir, kita melihat PAN sudah menentukan pilihan. (miol/jdz)