Jika Rudy Soik Dipecat, Masyarakat Kehilangan Polisi Dedikatif

by -147 views

KUPANG — Tim pengacara Brigadir Polisi (Brigpol) Rudy Soik mengatakan, jika kliennya dinyatakan bersalah kemudian dipecat dari kepolisian, yang bersangkutan masih bisa bekerja di institusi lain. Namun, masyarakat akan kehilangan satu pemburu terlatih pelaku perdagangan manusia.

Hal tersebut disampaikan tim pengacara Brigpol Rudy Soik dalam sidang lanjutan kasus penganiayaan yang dilakukan Rudy terhadap Ismail Pati Sanga, di Pengadilan Negeri Kelas 1A Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu (11/2/2015).

Sidang dengan agenda tanggapan tim pengacara terhadap jawaban jaksa penuntut umum (JPU) atas pembelaan (pleidoi) Brigpol Rudy Soik itu dipimpin oleh Hakim Ketua I Ketut Sudira dan didampingi dua hakim anggota, Ida Ayu dan Jamser Simanjuntak, dengan jaksa penuntut umum (JPU) atas nama Wisnu Wardana.

Selain kehilangan tim pemburu pelaku human trafficking, tim pengacara menambahkan, pemecatan Rudy Soik akan mengakibatkan kriminalisasi terhadap polisi yang dedikatif terulang kembali. Selain itu, akan muncul pemikiran bahwa lebih masuk akal keluar dari lembaga kepolisian lalu terlibat dalam bisnis human trafficking. Sebab, selain untung besar, bisnis tersebut juga bisa mengendalikan lembaga hukum.

Pengacara Brigpol Rudy juga menjawab pernyataan JPU bahwa penasihat hukum melakukan pencitraan dengan menghubungkan dakwaan penganiayaan dan isu perdagangan manusia.

“Kami hendak menjawab tuduhan tersebut dari teori penalaran hukum, yakni ‘nalar instrumental’, yang melihat hukum sebagai alat bagi sebuah tujuan. Dalam persidangan ini, baik JPU, penasihat hukum, maupun hakim sama-sama menggunakan instrumen hukum, tetapi barangkali yang berbeda adalah tujuannya,” ujar Ferdy, salah satu anggota tim pengacara Rudy Soik.

“Kami tidak hendak menebak apa tujuan JPU dan hakim, tetapi bagi kami, hukum dan proses persidangan ini adalah sarana bagi agenda moral dan agenda sosial,” lanjut dia.

Ferdy mengatakan, agenda moral yang dimaksudkan adalah moral utilitarian, yang intinya menyatakan bahwa sebuah keputusan atau tindakan dinilai bermoral jika memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat (the greatest happiness for the greatest number).

Sementara itu, Asnawati, anggota lain dalam tim pengacara, meminta majelis hakim berpikir jernih dalam menyikapi persoalan ini. Menurut dia, cukuplah Nirmala Bonat dan Wilfrida Soik yang menjadi korban sindikat perdagangan manusia di NTT.

“Mari kita tunjukkan kepada semua trafficker (pelaku perdagangan manusia) bahwa hukum dan pengadilan tidak bisa dan tidak akan bisa dikangkangi oleh para penjahat. Hal itu hanya akan terjadi ketika para pemangku hukum selalu melihat persoalan hukum secara jernih untuk menetapkan hati siapa yang lebih layak dihukum, trafficker atau pemburu trafficker,” kata Asnawati diamini Muji Kartika Rahayu, anggota lain dalam tim pengacara.

Sidang tersebut akan dilanjutkan pada Selasa (17/2/2015) depan dengan agenda mendengarkan putusan dari majelis hakim. (kompas.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *