Alih Waris Koenay Gelar Ritual Adat di Tanah Sengketa dan Surati Jokowi

by -178 views

Kupang, mediantt.com – Lima ahli waris tanah milik almarhum Yohanes Koenay, tak ada pilihan lain untuk mendapatkan hak atas tanah warisan tersebut. Berbagai upaya dilakukan namun selalu saja ada kesulitan yang dihadapi. Karena itu, Minggu (5/11), mereka menggelar ritual adat di lokasi tanah sengketa tersebut, di bilangan Jln Piet A. Tallo. Tujuannya, meminta bantuan dan perlindungan para leluhur agar proses pengurusan administrasi hak milik tanah keluarga Koenay dengan luas 300 Ha, berjalan lancar tanpa kesulitan lagi.

Disaksikan media, ritual adat dilakukan dengan memotong seekor ayam jantan merah dan darahnya disiram diatas tanah yang selama ini masih menjadi sengketa keluarga Koenay. Salah satu ahli waris tanah keluarga Koenay, Markus Koenay, kepada wartawan menuturkan, ritual adat digelar untuk memohon bantuan para leluhur. Sebab, selama ini dalam proses pengurusan hak milik tanah, pihaknya selalu dihadapkan dengan sejumlah kesulitan.

“Kami menyadari bahwa tanah ini adalah tanah warisan Yohanes Konay. Karena itu, sore ini kami melakukan upacara adat untuk memanggil leluhur kami, yaitu kakek kami Yohanes Konay hadir di tengah-tengah kami untuk membantu kami dalam berbagai persoalan yang kami hadapi,” kata Markus.

Ia juga menjelaskan, selama ini usaha pewaris untuk mengesahkan tanah tersebut menjadi hak milik keluarga Konay selalu menemui persoalan, terutama ketika menghadapi Camat Kelapa Lima Abraham Klau, yang hingga saat ini belum mengakui lima orang anak menjadi ahli waris dari tanah tersebut sesuai dengan keputusan MA dengan nomor register 3171 dan 1251.

Camat Kelapa Lima, jelas dia, hanya mengakui tanah tersebut milik ahli waris Ferdinan Koenay, Army Koenay, Tedy Koenay, dan lain-lain, yang merupakan anak kandung dari salah satu ahli waris Esau Koenay. Sedangkan kelima ahli waris lainnya tidak diakui sama sekali. Karena itu, ia meminta Pemerintah Kota Kupang, Pemerintah Provinsi NTT, bahkan Presiden RI agar bisa melihat kesulitan yang mereka hadapi selama ini, terutama dalam proses administrasi kepemilikan tanah.

“Selama ini kami dipinggirkan dan tidak diakui oleh Pemerintah Kota Kupang dalam hal ini Camat Kelapa Lima. Makanya kami memanggil leluhur kami untuk berjalan bersama-sama kami. Mudah-mudahan ada jalan keluar yang akan diperoleh bersama,” ujarnya.

Sementara itu, Lurah Oesapa, Yohanes Enga Keban, yang hadir dalam upacara adat tersebut menyampaikan bahwa dirinya sebagai Lurah Oesapa siap melayani apabila keluarga Koenay membutuhkan hal-hal yang bersifat administratif.

“Dengan adanya momen seperti ini, kedepan kita berharap semua urusan administrasi secara pemerintahan berjalan dengan lancar. Sebagai pemerintah kami siap untuk membantu,” ujar Keban, sambil berharap untuk diberitahu jika kedepannya ada pembangunan yang dilakukan di lokasi-lokasi tanah milik keluarga Koenay

Surati Presiden

Selain menggelar ritual adat di atas lahan sengketa, alihwaris keluarga Koenay juga menyampaikan isi hati mereka, dengan menulis surat kepada Presiden Joko Widodo. Intinya, meminta perhatian Presiden RI, Joko Widodo untuk membantu mereka agar persoalan kepemilikan lahan mereka dapat segera diselesaikan dengan baik.

Berikut isi surat pernyataan mereka yang dibacakan oleh Heny Koenay usai ritual adat.

Kami lima ahli waris sangat berharap kepada Bapak Presiden lewat Bapak Kapolri, Bapak Jaksa Agung, Menteri Pertahanan dan Perlindungan Hukum, dan DPR RI. Isi pernyataan;

Pertama, Sudah sekian lama tahun perjuangan kami tak berujung di Negara hukum ini. Dengan membiarkan salah satu ahli waris dari enam ahli waris menguasai lahan yang ada, yang bernilai ratusan miliar.

Kedua, Dalam peradaban apalagi Negara hukum, Negara menjamin hak setiap warga Negara, namun dalam persoalan kami, tidak ada yang mau membela atau melihat sekian tahun obyek tanah dari enam ahli waris hanya diakui dan dikuasai oleh salah satu ahli waris dengan segala tipu daya muslihat dan didukung oleh pihak-pihak tertentu.

Ketiga, Kami lima ahli waris hanya mencari keadilan dari lahan leluhur dan nenek moyang kandung kami. (jdz)