Setahun Paket Kebijakan Ekonomi Yang Belum Berdampak

by -142 views

Upaya memperbaiki ekonomi tercatat manis dalam laporan implementasi paket kebijakan yang diterima Presiden Jokowi. Tim khusus pun dibentuk agar target bisa cepat tercapai. Namun sudah setahun berjalan masih banyak yang mengeluhkan 13 paket kebijakan.

JAKARTA – Genap satu tahun sudah paket kebijakan ekonomi digulirkan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).  Dimulai dari paket kebijakan jilid I yang dirilis 9 September 2015 tentang penyederhanaan regulasi (deregulasi) dan debirokratisasi untuk mendorong daya saing industri.

Sampai paket ke XIII yang diluncurkan 24 Agustus 2016, tentang pemangkasan proses perizinan untuk pembangunan rumah murah.

Melalui media sosial Facebook, CNNIndonesia.com berupaya menangkap tanggapan masyarakat atas dampak paket I sampai XIII yang sudah diluncurkan pemerintah.

Ironisnya, mayoritas responden berkomentar miring atas paket-paket tersebut karena tidak merasakan langsung perbaikan kesejahteraan dalam kehidupannya sehari-hari.

Pemilik akun Lukman Nuryadi AV mengaku keadaan ekonomi saat ini tidak mengalami perubahan, dan bahkan semakin merosot dibandingkan pemerintahan era Susilo Bambang Yudhoyono.

“Belum ada perubahan makin merosot tajam dari pemerintahan yang lalu, yang ada hanya bagi-bagi kue jabatan untuk kroninya. Rakyat makin susah,” kata Lukman, dalam komentarnya, dikutip Jumat (9/9).

Sementara, Ronald Hasman menyatakan kegemaran pemerintah membuat paket kebijakan ekonomi tidak sebanding dengan implementasinya di lapangan.

“Kebanyakan paket nih pak presiden. Jangan-jangan pak presiden bikin toko online ya, paketnya banyak benar,” keluh Ronald.

Terakhir, Noorman Ibra Sr. kembali mengingat janji kampanye Presiden Jokowi yang menyatakan siap membuat perekonomian Indonesia meroket.

“Saat itu bilang akan meroket, tapi malah menukik!” ujar Noorman yang ditimpali oleh Bagus Pool yang menyatakan “Dolar meroket, harga daging sapi meroket. Jokowi hebat dongs.”

Pengusaha Bingung

Sementara itu, pelaku usaha menilai paket kebijakan ekonomi yang terkait dengan industri properti masih perlu disinkronisasi dan disesuaikan dengan permasalahan yang ada demi memuluskan akselerasi ekonomi.

Sekretaris Perusahaan PT Intiland Development Tbk Theresia Rustandi menyatakan, sebenarnya Pemerintahan Joko Widodo telah menyasar industri properti sejak awal peluncuran paket kebijakan ekonomi, tetapi perlu diperjelas lagi.

“Saya kira perlu fine tuning. Seperti dalam paket kebijakan ekonomi I, pemerintah membuka kepemilikan orang asing terhadap rumah susun mewah dengan harga Rp10 miliar ke atas. Masih perlu diperjelas,” ujarnya.

Theresia menilai kebijakan ekonomi tersebut masih lemah secara ketetapan hukum. Hal itu, lanjutnya, membuat kebijakan tersebut menjadi kurang menarik.

“Kalau bicara kepemilikan properti orang asing, masih harus dibenahi masalah sertifikasi. Terkait hak pakai itu setara atau tidak dengan hak guna bangunan, dalam artian bisa dijaminkan di bank. Kalau tidak, ya kurang menarik,” ungkapnya.

Perempuan yang juga menjabat sebagai Sekretaris Realestat Indonesia (REI) ini menjelaskan, tujuan kejelasan status kepemilikan tersebut sebenarnya bukan untuk pembiayaan properti orang asing, tapi lebih ke kredibilitas status.

“Kedua, masalah pembiayaan properti, dalam hal ini KPR [Kredit Pemilikan Rumah] kepada orang asing. Sekali lagi, tujuannya bukan ke pembiayaan, tapi ke kepastian hukum dan kredibilitas pembelian tersebut,” kata Theresia.

Sementara, terkait kebijakan Dana Investasi Real Estate (DIRE) dalam paket ekonomi XI, ia menilai masalah utama masih berada di besaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pasalnya, keinginan pemerintah pusat untuk menyunat BPHTB dari 5 persen menjadi 1 persen, tidak serta merta diikuti pemerintah daerah.

“Kami berharap insentif ini bisa diberikan oleh pemda, terutama daerah potensial seperti Jabodetabek, Surabaya dan Batam. Kami harap ada sama pemahaman, apalagi ini terkait potensi ekonomi untuk pemda itu sendiri,” jelasnya.

Selain itu, Theresia menyatakan aturan yang kurang jelas tersebut pada akhirnya membuat investor ragu, dan belum tercipta pasar yang bisa menyerap produk DIRE. Hal ini menurutnya menjadi masalah yang cukup rumit.

“Karena itu tidak jelas, maka market-nya belum ada. Siapa yang akan membeli kalau belum jelas dan clear?” ungkapnya
Lebih lanjut, terkait paket kebijakan ekonomi XIII yang membahas perumahan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), ia menilai masih membutuhkan waktu untuk dijalankan. Alasannya, lanjut Theresia, lagi-lagi koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah belum sinkron.

“Pemangkasan perizinan on process, karena perlu waktu cukup panjang karena yang berperan penting adalah pemerintah daerah. Jadi kebijakan pusat sudah baik, hanya tinggal bagaimana level operasional di daerah bisa jalan,” jelasnya. (cnnindonesia.com)