Papa Yang Susah Dibilangin…

by -169 views

Oleh : Lucius W. Luly, ASN Biro Humas NTT

“Rapha ini sama kaya papa ya…? Susah dibilangin! Rapha sulit kalau disuruh makan. Papa juga susah kalau dibilangin supaya berhenti merokok. Padahal, rokok itu kan berbahaya papa…”

Begitu ungkapan polos Rapha, anakku suatu waktu dalam perjalanan pulang sekolah. Seperti biasa, saya selalu mengantar dan menjemputnya ke sekolah. Rapha berusia 8 tahun, tepat tanggal 8 April 2016 lalu. Saat ini dia duduk di kelas dua, sebuah Sekolah Dasar Swasta di bilangan Kota Kupang. Ungkapan anak laki-lakiku itu berasa sangat menyakitkan, seperti sebuah tamparan.

“Kalau papa merokok, sama saja papa menghisap asap. Lebih baik papa hisap asap knalpot motor saja. Gratis dan lebih banyak asapnya. Daripada pake beli-beli, nanti kita miskin…” lanjut Aldrick Raphael Luly dengan suara lantang, sedikit berdialek kupang.

Siang itu udaranya memang panas. Gerahnya cukup menyiksa. Beruntung, kami sudah mempunyai sebuah kendaraan kecil. Sedan merah tipe corolla lift back keluaran tahun 1998 itu, masih mempunyai Air Conditioner (AC) yang berfungsi baik. Akan tetapi, ungkapan anak pertamaku tadi membuat suasana mobil kami berasa lebih panas. Tadinya saya berpikir, AC mobilnya bermasalah, maklum umur kendaraan itu pun sudah sepuh.

Kutatap matanya, saat perempatan lampu merah Patung Kirab itu. Pandangan mataku kuberikan penuh kepadanya. Tiga simpangan lagi, jatah lampu hijau untuk arah kendaraan kami memutar ke kiri, sebelum akhirya masuk ke area Taman Nostalgia. Kurang dari lima menit lagi, ritual penjemputan harian itu akan berakhir di pondok peraduan kami. Perumahan Dosen Undana IV nomor 11, Jalan Ade Irma, Kelurahan kelapa Lima, di situ gubuk kami.

Kami memang membiasakan diri untuk mengobrol apa saja, terutama dengan Rapha yang memang lahir sesuai keinginan kami. Seorang anak laki-laki, pewaris nama keturunan keluarga besarku. Keseharian di rumah pun, dia terbiasa mengobrol dengan orang-orang dewasa. Bercengkrama bersama mertua saya. Opa dan omanya itu adalah dua orang dosen yang sudah purna bakti. Jadi, obrolan kami bersamanya selalu dibiasakan seperti berbicara dengan orang dewasa. Kami menganggapnya sebagai seorang teman.

Kami membiasakan untuk terus berbicara dengannya sejak dalam kandungan. Rapha juga terbiasa berbicara sejak balita. Bertambah usianya, dia terlihat semakin senang bercakap-cakap. Banyak sudah kosa kata yang ia punya. Kami pun terkadang dibuat tercengang mendengarnya berbicara. Guru-guru sekolahya tidak jarang memberi komentar serupa. Bahkan ia lebih senang mengobrol daripada bermain tinju-tinjuan. Beberapa nama temannya sering diceritakan suka bermain dengan kasar. Hasil amatan saya, memang teman-teman sebayanya sangat aktif bergerak. Menurut kami, Rapha memang lebih suka berdialog.

“Kalau papa berhenti merokok, apa Rapha bisa makan tanpa disuruh-suruh lagi?” Begitu pertanyaan usilku, ingin segera mendengar jawabnya. Siapa tahu jawabnya ya. Bisalah kupakai cara ini benegosiasi, hehehe…

“Ya… mungkin saja,” jawabnya singkat. “Maksud Rapha bagaimana?” sahutku ingin segera mendapatkan jawaban pastinya.

“Ya… Rapha pikir-pikir dulu ya papa. Tapi, menurut Rapha, sebaiknya papa berhenti merokok sudah ya? Kata mama, jantung papa bisa tidak kuat lagi. Rapha sudah ingatkan ya? Kalau papa sakit nanti, Rapha biarin. Rapha tidak mau tolong papa” ajaknya lagi sambil menatap mata saya.

Peringatan berhenti merokok itu memang bukan yang pertama diucapkannya. Keane (4 tahun), adiknya pun pernah mengingatkan. Terutama saat mereka menangkap basah saya merokok di teras kecil rumah. Saat bermain bersama di rumah, Rapha dan Keane memang senang mengajak saya juga. Mereka akan tahu tempat nongkrong saya di teras itu. Mereka pun akan tahu kalau saya masih merokok, belum benar-benar lepas dari candu batangan beracun itu.

“O… ternyata papa masih merokok. Katanya mau berhenti merokok. Papa bohong mama…” Begitu teriak serempak mereka, segera melapor kepada mamanya yang memang benci dengan perokok. Maklum, mama mereka juga seorang dokter.

Saat menulis cerita ini, kami telah memiliki seorang putra lagi. Archer Gabriel Luly, 4 bulan sudah umurnya kini. Ya, tiga orang sudah putra kami. Ibunya akan menjadi wanita tercantik bagi kami berempat, selamanya. Saya berkeinginan menjadi ayah juga istri terbaik bagi mereka. Saya harus berhenti merokok. Tidak cukup hanya mengurangi.

Lewat tulisan ini, saya ingin mengumumkan maksud saya itu. Yah… saya harus berhenti merokok saat ini juga. Tidak besok atau nanti. Saya tidak ingin tiga putra kami meniru perilaku buruk saya itu. Saya juga tidak ingin membebani mereka dengan ribuan efek asap beracun itu.

Kehadiran tiga putraku sudah membuktikan kalau saya benar-benar jantan. Cukup sudah saya dibodohi dengan jejalan aneka iklan. Tidak boleh lagi tertipu dengan kesan maco pria perokok. Anak-anak saya harus terlindungi zat jahanam itu. Saya tidak ingin berakhir seperti Mr.Mc Laren, Marlboro man (bintang iklan Marlboro) yang meninggal di usia 51 tahun karena kanker paru-paru.

Take care of the children. Tobacco will kill you, and I am living proof of it.” Kurang lebih seperti itu pesan terakhirnya sebelum meninggal. (*)

Kupang, 13 April 2016.

Foto : Ilustrasi