Stop Tuding Deparpolisasi, Siapkan Saja Penantang Ahok

by -135 views

JAKARTA – “Tidak ada demokrasi tanpa politik dan tidak ada politik tanpa partai politik”. Rumus politik yang dicetuskan ilmuwan politik Clinton Rossiter itu seolah menjadi mantra bagi parpol untuk mengukuhkan eksistensi mereka dalam negara demokratis.

Tak mengherankan jika mengalir tudingan ada deparpolisasi ketika Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok memutuskan berkontestasi dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 melalui jalur perseorangan.

Tudingan itu sangat bisa diperdebatkan. Pilihan Ahok maju di Pilkada DKI lewat jalur independen jelas tidak asal-asalan, tetapi dibuat dengan pertimbangan matang.

Pertama, Ahok tidak ingin tersandera oleh partai politik, utamanya PDIP yang belum juga memberikan kepastian.

Ahok yang juga Gubernur DKI Jakarta awalnya menginginkan wakilnya kini, Djarot Syaiful Hidayat, untuk tetap mendampinginya dan meminta PDIP sebagai partai pemilik Djarot segera memberikan jawaban. Namun, PDIP punya mekanisme sendiri sehingga jawaban itu tak bisa diberikan sesuai dengan keinginan Ahok.

Pertimbangan kedua hingga Ahok akhirnya memilih jalur independen ialah ia tak ingin mengecewakan relawan Teman Ahok yang sudah beberapa bulan bekerja ekstra keras mengumpulkan KTP dukungan. Ahok tak mau pula membuat kecewa ratusan ribu publik Jakarta yang dengan sukarela menyerahkan dukungan kepadanya untuk tetap memimpin Ibu Kota pada periode berikutnya.

Ketiga, undang-undang menjamin hak warga negara yang ingin maju di pilkada melalui jalur independen, selain melalui perahu parpol. Tak ada argumentasi apa pun untuk mendikotomikan jalur parpol dan jalur perseorangan serta menempatkannya pada posisi head to head.

Sebagai sebuah pilihan politik, keputusan Ahok tak secuil pun melanggar rambu-rambu konstitusi. Toh Ahok bukan orang pertama yang memilih jalur independen untuk bertarung di pilkada. Lagi pula, undang-undang yang memungkinkan orang bertarung di pilkada melalui jalur independen disusun parpol lewat fraksi-fraksi di DPR.

Inilah peran demokrasi parpol, yakni membuat pilihan-pilihan bagi publik untuk memilih calon kepala daerah dari jalur parpol ataupun jalur independen. Bukankah demokrasi mensyaratkan aneka pilihan?

Dengan begitu, rumus bahwa tidak ada demokrasi tanpa politik dan tidak ada politik tanpa partai politik tidak harus ditafsirkan bahwa untuk mengarungi pilkada, kandidat harus menumpang bahtera parpol. Bahkan bukan tidak mungkin di masa depan undang-undang mengizinkan orang menggunakan jalur independen pada pemilu presiden, seperti di Amerika Serikat.

Di Amerika Serikat, sejumlah pemilu presiden pernah diikuti kandidat independen. Namun, pemenang senantiasa kandidat yang diusung parpol. Dalam beberapa pemilu presiden terakhir kandidat datang dari parpol, yakni Partai Demokrat dan Partai Republik.

Itu disebabkan rakyat pemilih di Amerika lebih percaya kepada kandidat asal parpol karena memang parpol memiliki kandidat hebat, berintegritas, dan berkarakter. Oleh karena itu, daripada bikin gaduh menuding ada deparpolisasi oleh Ahok dan para pendukungnya, dalam jangka pendek, lebih baik parpol menyiapkan penantang Ahok.

Dalam jangka panjang, parpol sebaiknya berbenah, termasuk membenahi kaderisasi untuk menghasilkan calon pemimpin hebat sehingga rakyat percaya dan memilih kandidat yang mereka usung.

Ini penting karena di era pemilihan langsung tidak ada jaminan, pemilih yang telah memilih parpol tertentu pasti memilih kandidat yang diusung parpol itu. Parpol harus ada dan akan tetap ada di negara yang menganut paham demokrasi. Di negara demokrasi tidak ada yang namanya deparpolisasi. (mi/jdz)

Foto : Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok