Kapal Perang Amerika di Mulut Cina, Poros Jakarta-Peking Terancam

by -140 views

JAKARTA – Ketegangan di Laut Cina Selatan meningkat. Amerika mengirim kapal perang ke kawasan yang diklaim Cina. Kebebasan pelayaran dan poros Jakarta-Peking menjadi sumber kekuatirannya.

Kini, sebuah kapal perang Amerika USS Curtis Wilbur berada di depan moncong Cina di Laut Cina Selatan (LCS). Kapal tersebut berada hanya beberapa kilometer di sebuah pulau karang di Kepulauan Spratly yang sedang direklamasi oleh Cina. Pulau ini senantiasa dijaga oleh armada perang Cina.

Amerika dan para sekutunya sudah berulang kali mengingatkan bahwa reklamasi tersebut adalah illegal. Apalagi telah muncul foto-foto satelit yang mengindikasikan Cina sedang membangun sebuah pangkalan militer. Maka, bila sudah rampung, sesuai dengan klaim Cina, semua kapal yang memasuki wilayah LCS harus minta izin dan membayar kepada negara berpenduduk terbesar di dunia itu.

Cina sudah membantah tudingan tersebut. Hanya saja, berbagai foto satelit yang telah dilansir media Barat menunjukkan bahwa landas pacu pesawat terbang, helipad, dan radar militer tampak cukup jelas di tanah hasil reklamasi.

Kekuatan laut Cina kini memang makin dahsyat. Berkat teknologi Rusia, Cina memiliki kapal perang dan kapal selam yang sanggup meluncurkan misil jarak jauh. Armada tersebut juga sanggup melindungi diri dari gempuran misil canggih buatan Barat.

Kini, kekuatiran Barat tentu meningkat karena Rusia tengah mengembangkan kapal selam nuklir anti kapal induk. Bila rampung nanti, dalam keadaan darurat, kapal selam mengerikan ini tentu bisa saja dipakai untuk memperkuat kekuatan Cina.

Namun bukan cuma itu yang membuat Barat kini meningkatkan tekanan kepada Cina. Mereka juga melihat poros Jakarta-Peking yang telah membuat Indonesia sangat tergantung kepada dana dan teknologi Cina. Selain itu, Cina dan Indonesia juga memiliki armada udara yang kompatibel karena sama-sama Sukhoi atau bermesin Sukhoi.

Barat dan sekutunya paham betul bahwa mereka sedang disingkirkan secara sistematis dari proyek-proyek pembangunan strategis di Indonesia. Dimulai dengan proyek tenaga listrik 10 ribu megawatt, yang disapu bersih oleh Cina; dan pelabuhan Cilamaya, yang telah dibatalkan. Kedua proyek raksasa ini dikomandani oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Di bawah komando Menteri ESDM Sudirman Said, mereka juga disingkirkan dari Blok Mahakam. Menteri BUMN Rini Soemarno pun bergerak dengan cepat untuk menjadikan Cina sebagai penguasa proyek kereta cepat Jakrata-Bandung. Kini, di bawah Menko Kelautan Rizal Ramli, mereka sedang dibuat kocar-kacir di Blok Masela.

Menurut Masako Kuranishi, peneliti dari Universitas Tsurumi dan Universitas Seigakuin, dimata banyak orang Jepang, proyek kereta Cepat Jakarta-Bandung adalah pengkhianatan terhadap Jepang. Masaka tentu saja mengacu pada hubungan ekonomi Indonesia-Jepang yang jauh lebih lama, dimana Jepang telah menjadi kreditor dan investor terbesar di Indonesia.

Dilihat dari demikian hebatnya pengaruh Cina dalam proyek pembangunan nasional, tak cuma Jepang yang merasa dikhianati atau dibohongi. Tapi juga negara-negara lain seperti Amerika, Perancis, Jerman, Swedia dan sebagainya yang sudah lama berinvestasi dan mengucurkan banyak duit ke Indonesia.

Maka tak berlebihan kalau dikatakan, meski tampak sering baku hantam, mereka sesungguhnya cuma aktor dalam sebuah skenario. Para perancang geostrategi Barat tentu saja paham pada hal semacam ini. Jadi tak aneh bila mereka membuat skenario tandingan. Salah satunya, apalagi kalau bukan menekan Cina secara militer di LCS.

Tekanan ini sangat diperlukan agar Indonesia tak terus menjadi satelit Cina. Indonesia adalah negara strategis di mata kekuatan-kekuatan utama dunia, terutama karena posisi geografisnya di jalur laut utama, memiliki kekayaan alam berlimpah, dan berpenduduk terbesar keempat di dunia.

Sejauh ini Indonesia masih menyatakan netral dalam konflik LCS. Hanya saja, Barat tampaknya tak akan membiarkan netralitas yang mereka anggap semu.  (indrev/jjdz)

Foto : Kapal penghancur USS Curtis Wilbur milik Amerika Serikat ketika sedang berada di kawasan Laut Cina Selatan.