Kisruh Politik Karena Pembagian Belum Merata

by -148 views

JAKARTA – Memang, tujuan dari berpolitik adalah untuk merebut kekuasaan. Sayangnya, kekuasaan hanya digunakan untuk mensejahterakan diri sendiri, partai atau kelompok, bukan untuk mensejahterakan rakyat.

Untuk menjadi Presiden di Indonesia, kemampuan matematika dasar anda tidak perlu mumpuni. Karena, anda tidak perlu handal dalam perkalian, penambahan atau pengurangan. Tapi, anda harus handal dalam pembagian. Sebab bila tidak, jagad politik akan terus memanas.

Para politisi selalu berkata “Indonesia terlalu besar bila hanya diurus oleh satu partai saja“. Sepintas kalimat tersebut sangat bijak. Sebenarnya kalimat tersebut hanya eufemisme dari kekuasaan harus dibagi-bagi. Karena, dengan mempunyai kekuasaaan, para politisi dapat memperkaya dirinya sendiri dan tentunya partai atau kelompoknya.

Karena pembagian kekuasaan Pemerintahan Jokowi dirasa belum merata oleh beberapa partai, akibatnya, gonjang-ganjing politik masih kerap terjadi. Lihat saja, belum selesai pansus Pelindo II, sudah disusul dengan kasus saham Freeport.

Dari hasil rekomendasi Pansus Pelindo II sangat terasa politisi dari F-PDIP ingin menggusur Dirut Pelindo II, RJ Lino dan Menteri BUMN, Rini Soemarno dari jabatannya. Tentunya, PDIP berharap agar kursi Dirut Pelindo II dan Menteri BUMN diisi oleh kader PDIP. Maklum, jabatan Menteri BUMN adalah salah satu jabatan paling basah dalam kabinet.

RJ Lino sendiri memang hanya sasaran antara dari pansus tersebut. Sasaran utama jelas Rini Soemarno. Mereka berdua memang satu kelompok. Sebagai kepala suku dari kelompok tersebut, Wapres Jusuf Kalla (JK).

Tentu saja Wapres JK tidak suka kalau personil dari kelompoknya digoyang. Menurut Wapres JK, rekomendasi Pansus Pelindo II hanya saran politik jadi tidak harus ditindaklanjuti. Kontan saja, pendapat dari Wapres JK mendapat perlawanan dari Ketua Pansus Pelindo II, Rieke Dyah Pitaloka yang memang berasal dari F-PDIP.

Sayang, nasib tidak beruntung bagi RJ Lino, sekarang dia dijadikan tersangka oleh KPK, dengan tuduhan terlibat kasus korupsi pengadaaan Quai Container Crane di Pelindo II tahun anggaran 2010. Melihat tekanan sudah terlalu kuat, Rini Soemarno akhirnya memberhentikan RJ Lino. Melihat rekam jejak KPK dalam mengusut kasus, tampaknya tinggal menunggu waktu RJ Lino dicokok ke dalam penjara.

Ngebetnya PDIP dalam mengusut kasus Pelindo II karena merasa sebagai partai pemenang pemilu dan Presiden merupakan petugas partainya, kurang mendapatkan jatah semestinya dalam kabinet Presiden Jokowi. Setelah 10 tahun berpuasa, PDIP sangat dahaga dengan kekuasaan di eksekutif. Mereka ingin mempertebal tabungan pribadi dan partainya.

Kalau dalam Pansus Pelindo II kelompok Wapres JK sedang diserang, dalam kasus saham Freeport justru kelompok Wapres JK menyerang. Melalui Menteri ESDM, Sudirman Said mereka membuka rekaman pencatutan nama Presiden dan Wapres oleh mantan Ketua DPR, Setya Novanto.

Kelompok Wapres JK merasa bahwa, Freeport adalah kavling mereka, jadi tidak boleh ada kelompok lain mencapuri urusan Freeport. Apalagi, bila kelompok tersebut bukan dari Koalisi Pendukung Pemerintah.

Sebenarnya, kelompok Wapres JK sendiri kekuatan politiknya tidaklah kuat, karena tidak mempunyai basis kelompok dalam DPR. Lain hal sewaktu JK menjadi Wapres-nya Pemerintahan SBY jilid I. Waktu itu, Wapres JK masih menjadi ketua umum Partai Golkar. Sehingga, masih bisa mengatur kader-kader Partai Golkar dalam DPR.

Sedangkan sekarang dia hanyalah salah satu elite dari Partai Golkar. Tapi, karena kelihaian berpolitiknya Wapres JK dan kelompoknya masih mendapatkan banyak kekuasaaan dalam eksekutif. Melihat, kelemahan tersebut, politisi PDIP merasa bahwa tidaklah terlalu sulit untuk menggusur kelompok Wapres JK melalui kekuatan DPR.

Presiden Jokowi juga tampak semakin ingin memperbesar Koalisi Pendukung Pemerintah. Setelah bergabungnya PAN dan dibukanya komunikasi politik dengan PKS . Tampaknya, Koalisi Pendukung Pemerintah akan semakin gemuk.

Wacana oposisi permanen dalam Koalisi Merah Putih tampak hanya mimpi di siang bolong. Karena, dengan terus menjadi oposisi mereka tidak akan mendapatkan kekuasaan di eksekutif. Ujungnya, kantong pribadi dan partai akan terus menipis.

Tentunya, dengan semakin besarnya Koalisi Pendukung Pemerintah pembagian kekuasaan juga harus semakin merata. Dampaknya, reshuffle jilid II tidak bisa dihindari. Tentunya, reshuffle tersebut harus memuaskan semua pihak. Sebab bila tidak, gonjang-ganjing politik akan terus terjadi.

Memang, tujuan dari berpolitik adalah untuk merebut kekuasaan. Sayangnya, kekuasaan hanya digunakan untuk mensejahterakan diri sendiri, partai atau kelompok, bukan untuk mensejahterakan rakyat. (net/inr/jdz)

Foto : RJ Lino