Dibalik Teror Paris, Islam Terbelah?

by -187 views

Serang dan bunuh, inilah yang dilakukan oleh para teroris ketika menyerbu Paris. Umat Islam pun terbelah. Ada yang pro, ada pula yang kontra.

Sebagian umat Islam beranggapan serangan teror berdarah di Paris, yang menewaskan lebih dari 100 orang, memang harus dilakukan. Dengan alasan, pembantaian oleh para serdadu Barat di negara-negara Islam harus memperoleh balasan setimpal.

Sebagian lain beranggapan serangan teror di Paris sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Serangan tersebut, kata pendukung anggapan ini, hanya mempermalukan Islam. Di mata mereka, para pelaku aksi teror tersebut tak memahami bahwa Islam sesungguhnya sangat menghormati kemanusiaaan.

Keterbelahan di dunia Islam sesungguhnya bukanlah hal baru. Di era modern ini, hal ini tampak sangat mencolok dalam hubungan Suni dan Syiah, dan bagaimana dunia Islam menghadapi penindasan Palestina oleh Israel. Bahkan orang Palestina sendiri terbelah antara PLO dan Hamas.

Kini, isu yang tak kalah banyak menyedot perhatian masyarakat adalah radikalisasi versus moderatisasi di kalangan umat Islam. Dua hal bertolak belakang ini telah memicu berbagai perdebatan sengit yang seringkali tak lagi memperdulikan tata-krama. Caci-maki seolah telah menjadi ciri khas dari perdebatan tak kunjung surut ini.

Para pendukung moderatisasi menyalahkan radikalisasi sebagai penyebab maraknya aksi kekerasan oleh orang Islam, baik terhadap non muslim maupun terhadap sesama muslim. Radikalisasi, di mata mereka, telah mempersempit makna jihad hanya menjadi kekerasan. Kaum moderat juga menganggap aksi-aksi radikal telah merusak citra Islam yang sesungguhnya penuh kasih dan tak mengharamkan perbedaan pendapat atau keyakinan. Salah satu acuan utama mereka adalah aksi menyembelih manusia di depan kamera video lalu dipertontonkan ke seluruh dunia oleh mereka yang mengaku sebagai pejuang jihad.

Kaum moderat juga melihat serangan-serangan berdarah oleh kaum Syiah terhadap Suni atau sebaliknya sebagai buah dari radikalisasi. Kenyataan ini membuat mereka harus kerja lebih keras untuk meyakinkan dunia bahwa Islam bukan agama kanibal. Justeru Islam, menurut mereka, adalah agama yang dilahirkan untuk membangun keselamatan dan kesejahteraan umat manusia.

Sebaliknya, kaum radikal suka menyebut kaum moderat sebagai antek Barat yang membuat umat Islam hanya menjadi obyek dalam percaturan politik dunia. Gerakan kaum moderat, terutama yang beraliran liberal, bahkan kerap dituding sebagai boneka Barat yang ingin mengecilkan bahkan melenyapkan Islam. Kubu ini menganggap jalan damai adalah kata lain dari menyerah kepada keadaan meski penindasan terhadap Islam dinilai sudah keterlaluan.

Dominasi Barat yang non Islam, menurut kaum radikal, harus diakhiri dengan cara apapun dan secepat mungkin. Bila tidak, korban di pihak Islam akan makin banyak. Dengan demikian, serangan Paris yang menewaskan 153 orang harus dilanjutkan dengan aksi-aksi lain untuk membuat para penindas Islam bertekuk lutut.

Sementara itu sanak-saudara, handai taulan, dan saudara sebangsa korban serangan Paris pasti sangat marah. Tak mustahil pula bila ada dari mereka yang akhirnya memilih jalan radikal untuk membalas dendam. Maklum, sejarah telah mencatat bahwa radikalisme sesungguhnya ada dalam semua agama dan ideologi. Mereka bisa saja bergabung dengan tentara Perancis agar bisa membalas dendam secara membabi buta dengan membunuhi orang Islam tanpa perduli apakah korbannya adalah bayi, kaum jompo, atau orang sakit. Atau meledakkan bom di tengah keramaian orang Islam.

Melampiaskan dendam terhadap Islam di Perancis mungkin mudah dilakukan. Hal ini setidaknya tercermin dari komposisi penduduknya. Sekitar 40% dari 1.85 juta penduduk kota terbesar kedua di Peracis, Marseiles, adalah orang Islam. Secara keseluruhan, jumlah pemeluk Islam di Perancis mencapai 4,7 juta orang atau 5,8% – tertinggi di Uni Eropa – dari total jumlah penduduk. Dengan demikian, mencari orang Islam untuk dijadikan sasaran teror bukan soal sulit.

Muslim Perancis tentu berharap mereka tak akan menjadi sasaran balas dendam kaum radikal anti Islam. Suka atau tidak, mereka juga sadar tentunya bahwa menghentikan radikalisme bukanlah perkara gampang. Apalagi sekarang, kebencian terhadap Islam di Perancis sedang naik tajam. Salah satu pemicunya adalah serangan terhadap kantor redaksi Charlie Hebdo pada Januari lalu. Serangan oleh radikal Islam ini menewaskan lima wartawan senior, termasuk pendiri dan pemimpin redaksi Charlie Hebdo, Stephane ‘Charb’ Charbonnier.

Dalam laporan yang dirilis April lalu, National Observatory of Islamophobic Acts, mencatat bahwa serangan terhadap orang Islam di Perancis dalam triwulan pertama tahun ini naik 500%. Laporan ini juga menyebut bahwa radikalisasi di kalangan non-Muslim juga sedang meningkat di Perancis. Jumlah kekerasan terhadap orang Islam di Perancis dalam triwulan pertama, menurut laporan tersebut, mencapai 222 kasus dibandingkan 37 kasus pada priode yang sama tahun lalu. Tertinggi terjadi pada Januari dimana 178 kasus penyerangan terhadap orang Islam terjadi. Padahal, di sepanjang 2014, hanya tercatat 133 kasus.

Tak mudah utuk membayangkan bagimana jadinya kalau radikalisme dilawan dengan radikalisme. Makin banyak orang bakal binasa. Tak ada orang merasa bahagia atas kengerian semacam itu kecuali kaum radikal itu sendiri, yang menganggap pembantaian adalah bagian dari tugas suci. (indr/net/jdz)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *