Prosesi Suci di Kota Reinha Rosari

by -258 views

Semana Santa (Pekan Suci) di Larantuka, Flores Timur (Flotim), tak mengalami perubahan berarti. Setiap menjelang Pekan Suci setiap tahun, wajah kota berhias indah, peziarah kian membludak, dan peluang usaha tambah semarak. Meski sempat ternoda dengan tragedi tahun 2014 silam, namun tahun ini (2015), pesta iman tradisi tahunan umat Katolik di Kota Reinha Rosari itu berlangsung teratur, lancar dan aman. Seluruh Umat mengikuti dengan khusuk.

PEMERINTAH Kabupaten (Pemkab) Flotim telah mengangkat tradisi Semana Santa sebagai aset wisata. Tak tanggung-tanggung, Pemkab menggelontorkan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk kegiatan Semana Santa.
Patung Reinha Rosari dan taman doa di pertigaan San Dominggo, pintu masuk Larantuka, siap menyambut tetamu. Pantai telah direklamasi. Taman kota pun sudah dibangun menyejukkan pandangan. Kapela-kapela direnovasi dengan mengacu gaya arsitek Eropa abad pertengahan.
Rombongan peziarah datang dari kota-kota di NTT (Ruteng, Bajawa, Ende, Maumere, dan Kupang). Dari Pulau Jawa, dulu hanya dikenal rombongan dari Jakarta. Namun kini, datang pula rombongan dari Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya, dll. Biasanya, Dubes Portugal dan Dirjen Bimas Katolik Kementerian Agama RI, juga hadir dalam pekan suci Semana Santa ini.

Larantuka atau yang dikenal sebagai Kota Reinha Rosari tak memiliki hotel yang memadai. Maka, menjelang Semana Santa, sekolah, asrama, rumah warga dan biara ‘disulap’ menjadi tempat menginap para peziarah. Tentu hal ini memberi tambahan penghasilan bagi pemilik penginapan. Beberapa orang pun mulai menangkap peluang usaha kecil-kecilan.
Di sekitar lokasi Kapela Tuan Ma (Kapela Maria) dan Kapela Tuan Ana (Kapela Yesus Anak Maria) tampak berjejer meja jualan. Barang-barang yang dijual tak lagi sebatas makanan dan minuman ringan. Benda-benda rohani, seperti patung, salib, gambar-gambar kudus, rosario, dan buku-buku doa berderet dan bergelantungan menanti pembeli. Produk lokal yang terbilang sangat laris adalah lilin-lilin yang dibuat sendiri oleh umat setempat.

Prosesi Dimulai
Larantuka itu kota kecil, hanya ada jalan atas dan bawah. Kesibukan penduduk kota jelas terlihat saat pagi hari. Menjelang pukul satu siang, pertokoan mulai tutup, lalu buka kembali sore hari. Pukul tujuh malam, aktivitas mulai surut. Malam pun direnggut sepi.
Meski sepi, Kota Reinha Rosari ini sangat terkenal, terutama menjelang Pekan Suci (Semana Santa). Umat Katolik di Larantuka memiliki tradisi prosesi ‘tambahan’ yang unik. Prosesi atau yang biasa disebut persisan ini mengajak peziarah berjalan bersama Maria Mater Dolorosa. Dalam cahaya lilin yang menerangi gelap malam, mereka larut dalam duka kematian Yesus.
Malam itu empat orang berperan sebagai lakademu (Nikodemus) mengusung Tuan Ana (patung Yesus dalam peti mati) melewati delapan armida (perhentian). Saat Tuan Ana berhenti di armida, semua peziarah berhenti. Peziarah mendengarkan bacaan Kitab Suci, doa renungan, lalu sunyi.
Dalam keheningan malam, seorang perempuan berpakaian biru naik ke atas bangku kecil sembari membawa gulungan gambar wajah Yesus. Perempuan bernama Veronica atau Ovos itu menyanyikan ratapan sedih. “O vos omnes, qui transitis perviam. Attendite et videte. Si est dolor sicut dolor meus (Hai kamu sekalian yang sedang melintas di jalan ini. Pandang dan lihatlah! Adakah kau lihat kesedihan yang sedang kualami?)”.
Lalu, Ovos membuka gulungan gambar dan menunjukkan wajah Yesus bermahkota duri kepada peziarah. Usai renungan, perarakan berjalan hingga perhentian berikut. Prosesi selesai sekitar pukul tiga dini hari.

Wureh dan Konga
Prosesi Semana Santa tak hanya berlangsung di Larantuka, tapi juga di Wureh dan Konga, Flores Timur. Jarak Larantuka dengan Wureh hanya ditempuh sekitar 15 menit dengan motor laut. Di Wureh terdapat patung Yesus setinggi dua meter di Kapela Senhor. Orang di sana menyebut Tuan Berdiri. Patung Yesus bermantel merah ini memang berdiri dengan wajah berdarah dan bermahkota duri.
Ada pula patung Yesus memikul salib di Kapela Cruz Costa. Prosesi di Wureh hampir serupa dengan di Larantuka, tapi dilaksanakan setelah prosesi di Larantuka berakhir.

Berdasarkan penuturan sejarah, arca Tuan Berdiri itu mulanya adalah sosok seorang pemuda yang membeli seekor ayam jantan dari seorang nenek di pasar. Pemuda itu tidak mempunyai uang saat membeli ayam tersebut di pasar, tapi mengajak si nenek itu pergi ke sebuah tempat untuk mengambil uang tersebut.
Ketika si nenek tiba di tempat itu, sang pemuda tadi berubah wujud menjadi patung (arca) sambil memegang ayam tersebut di tangan kanannya. Masyarakat setempat meyakininya sebagai arca Yesus yang kemudian menyebutnya dalam bahasa setempat “Tuan Bediri”.

Di Konga, sekitar 40 kilometer dari Larantuka, ada pula prosesi sejenis. Namun, lebih sederhana. Bila di Larantuka terdapat delapan armida, di Konga hanya terdapat enam armida, yakni Misericodia, Jentera, Pesadu, Pohon Nangka, Pohon Bunga, dan Pohon Waru.
Dalam prosesi, Lakademu berpakaian putih dengan topi kerucut panjang. Wajah mereka tertutup kecuali mata. Lakademu adalah simbol yang menguburkan Yesus setelah diturunkan dari salib.
Di Larantuka, jati diri empat orang Lakademu selalu dirahasiakan sampai sekarang. Tetapi, di Konga tidak demikian. Setelah prosesi selesai pada Sabtu pagi, Lakademu dengan pakaian biasa mengusung Tuan Ana kembali ke kapela sehingga semua orang mengetahui pemeran Lakademu ini.

Menuju Armida
Sebenarnya rangkaian kegiatan sudah mulai sejak Rabu Abu. Saat itu, dimulai mengaji Semana, yakni berdoa selama Masa Prapaskah yang dijalankan 13 suku di Larantuka. Mengaji semana ini berlangsung di Kapela Maria (Tuan Ma) setiap Jumat dan Sabtu.
Sehari sebelum Tri Hari Suci dinamakan Rabu Trewa. Ini merupakan tanda masuk masa berkabung. Pada pukul enam sore terdengar teriakan, “Trewa! Trewa!” Umat pun datang ke gereja untuk mengikuti Lamentasi (ratapan Nabi Yeremia) di Gereja Katedral Reinha Rosari Larantuka.
Besok paginya, pada Kamis Putih, penduduk mulai memancang kayu dan bambu di sepanjang pinggir jalan. Kegiatan ini disebut Tikam Turo. Kayu dan bambu itu sebagai tempat lilin selama prosesi Semana Santa.
Kesibukan terus berlangsung dengan pembuatan Armida dalam bentuk tenda kecil berlapis kain hitam. Kedelapan armida itu adalah Misericordia (merenungkan janji Tuhan yang mengutus putra-Nya ke dunia), Tuan Meninu (merenungkan Kanak-kanak Yesus), Santo Philipus (merenungkan masa hidup dan karya Yesus selama di dunia), Tuan Trewa (merenungkan Yesus yang ditangkap dan diadili), Mater Dolorosa (bersatu dengan Maria mengikuti Jalan Salib Yesus), Benteng Daud (merenungkan saat Yesus dijatuhi hukuman mati), Kuce (merenungkan Yesus yang telah wafat di kayu salib), dan Tuan Ana (merenungkan Yesus yang sudah diturunkan dari salib).
Sedangkan di Kapela Maria diadakan Muda Tuan, yakni menyiapkan patung Maria Mater Dolorosa (Tuan Ma). Begitu pula di Kapela Tuan Ana (Yesus anak Maria). Kapela dibuka terus sampai malam dan hanya ditutup pada sore hari saat Misa Kamis Putih berlangsung.
Puncak prosesi terjadi pada Jumat Agung. Setiap armida dilengkapi dengan salib yang dikeluarkan dari Tori, tempat penyimpanan benda kudus. Setelah Jalan Salib, beberapa umat mengantar salib-salib peninggalan Portugis ke Armida masing-masing. Proses mengantar Tuan Meninu ke Armida berlangsung menarik. Patung Yesus tersalib ini diantar dengan berok atau sampan mengarungi laut menuju armida. Itulah ziarah laut menghantar Tuan Meninu.
Setelah itu, para Konfreria membawa patung Maria Mater Dolorosa keluar menuju Kapela Tuan Ana. Konfreria adalah serikat awam yang didirikan pastor Dominikan abad ke-16 dan berperan besar menyebarkan iman Katolik di Larantuka. Kedua patung diarak bersama untuk ditakhtakan di dalam gereja. Prosesi ini mengandung arti Tuan Ma (Maria) menjemput Tuan Ana (Yesus).

Kembali Menetes
Menjelang sore, Misa Jumat Agung digelar. Usai prosesi cium salib, umat langsung berziarah ke kuburan. Kompleks pemakaman pun diterangi lilin yang berkelipan. Tepat pukul delapan malam, prosesi yang terkenal mendunia itu berlangsung.
Barisan depan diisi umat pembawa salib diiringi penabuh genderang dan panji Konfreria. Benda-benda seperti paku, pemukul, tombak, dan karangan bunga dibawa sebagai lambang Yesus yang mengalami penderitaan.
Iringan berikutnya, kelompok peziarah yang membawa lilin menyala. Rombongan perarakan Tuan Ana dan Tuan Ma berada di antara peziarah. Di depan Tuan Ana, berjalan beberapa perempuan yang ditutup dengan kain hitam panjang. Mereka berperan sebagai Eus atau perempuan-perempuan Yerusalem yang meratapi kematian Yesus.
Beberapa konfreria menyanyikan lagu-lagu berbahasa Portugis, mengiringi jalan prosesi. Prosesi ini selesai sekitar pukul tiga dini hari.
Sabtu pagi, salib yang masih bersemayam di tiap armida dikembalikan ke tori-nya masing-masing. Pada Minggu sore pun masih ada perarakan kecil, yakni mengusung patung Maria Alleluya dari Kapela Maria ke dalam gereja.
Selepas prosesi, lelehan ribuan lilin menempel di atas jalan beraspal. Ribuan peziarah pun akan kembali ke tempat masing-masing. Larantuka kembali sepi. Lelehan lilin itu pun hilang tak berbekas. Tahun depan, lelehan lilin akan kembali menetes di jalan sepanjang prosesi. Larantuka akan kembali ramai, pertanda Semana Santa, prosesi suci terus berlangsung setiap tahun. (josh diaz)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *