DPR Sebut Denny Indrayana Rampok Negara

by -115 views

JAKARTA – Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM), Denny Indrayana dinilai seorang banci oleh para wakil rakyat di parlemen. Pasalnya, pejabat vital era pemerintahan Soesilo Bambang Yodoyono (SBY) itu tak menghormati proses hukum. Sejatinya, sebagai pihak terduga terjerat kasus korupsi RpRp32,93 miliar harus berani membuktikan dengan datang memenuhi panggilan pengadilan.

Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Demokrat, Ruhut Sitompul mengatakan, nama Denny Indrayana terus menarik perhatian sejak dirinya terseret dalam kasus ‘payment gateway’ Kemenkum HAM tahun anggaran 2014. Kini, Mantan Wamenkumham itu sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Mabes Polri.

Ruhut menilai, jika Denny sebagai sosok perampok uang negara dengan ‘kamuflase Non Goverment Organization’ (NGO) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). “Ya begitulah kalau tetap mental NGO. Mental NGO kalau belum ada di kekuasaan, kalau sudah ada di kekuasaan, ngerampok juga,” ungkapnya kepada INDOPOS di Komplek Parlemen, Senayan, Rabu (25/3).

Anggota Komisi III DPR RI lainnya, Aboe Bakar Alhabsy, meminta Denny Indrayana agar menghormati proses hukum yang menjeratnya sebagai tersangka korupsi dalam kasus pengadaan ‘payment gateway pada 2014’ silam. “Semua pihak harus menghormati proses hukum yang ada. Dari sisi kepolisian haruslah bertindak secara profesional,” tukasnya.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu juga menantang Denny. Dia menyatakan, jika merasa tidak bersalah atas kasus yang diduga merugikan negara sebesar Rp32.93 miliar itu untuk membuktikan semua sangkalannya dalam proses pengadilan.

“Tentunya, hal itu hanya dapat dilakukan melalui pengadilan. Oleh karenanya, proses peradilan yang fair dengan memberlakukan orang secara ‘equality before the law’ akan menjadi tolok ukur,” tantang pria yang akrab disapa Habib itu.

Sementara, Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Pol Anton Charliyan membenarkan hal tersebut. Dia mengatakan, peranan Denny adalah sangat vital, karena dia yang memfasilitasi vendor sehingga proyek tersebut dapat terlaksana.

“Beliau yang menyuruh, melakukan dan memfasilitasi vendor. Sehingga proyek ini terlaksana, walaupun stafnya sudah mengingatkan bahwa proyek ini tidak menguntungkan. Karena sudah ada proyek Simphoni yang lebih simpel dan tidak meminta biaya bagi pembuat paspor,” ujarnya.

Anton menambahkan, saat proyek tersebut diusulkan oleh Denny, respon kurang setuju terjadi di internal Kemenkumham. Karena sebelumnya, sudah ada proyek serupa. Selain itu, inisiatif membuka rekening baru atas nama vendor juga sudah menyalahi aturan.

“Terjadi kekurangsetujuan karena telah dibuka rekening atas nama vendor dan disetor ke bendahara negara. Itu sudah menyalahi aturan, harusnya langsung dan tidak perlu buka rekening baru,” ungkap Anton.

Dia menjelaskan, bahwa sistem Simphoni sebelumnya sudah berjalan satu tahun dan lebih fleksibel daripada sistem payment gateway tersebut.

“Simphoni lebih memudahkan pembuat paspor secara elektronik, itu sudah berjalan 1 tahun, pembayaran ditalangi bendahara negara, itu lebih simpel dari sistem payment gateway, lebih jelas bisa ditanya Kemenkumham langsung,” jelas Anton.

Namun, dia mengaku belum mengetahui apakah kedua sistem tersebut masih digunakan atau tidak oleh Kemenkumham. “Dibatalkan atau tidak itu belum jelas, yang jelas Kemenkumham sendiri merasa kecewa. Sehingga, kami lebih gampang memeriksa saksi dalam kasus ini,” tuntasnya. (ind/jdz)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *