Tekanan Australia Bikin Kejagung Keder, Pemindahan Bali Nine Ditunda

by -142 views

JAKARTA – Makin kerasnya protes Pemerintah Australia terhadap eksekusi mati mulai membuat Kejaksaan Agung (Kejagung) keder. Mereka pun akhirnya menunda rencana pemindahan dua terpidana mati Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, yang rencananya dilakukan pekan ini.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Tony Spontana menjelaskan, pemindahan Andrew dan Myuran dari Bali ke Nusakambangan yang dijadwalkan pekan ini memang ditunda karena sejumlah masalah. ’’Kami memiliki beberapa hambatan yang perlu diselesaikan,’’ jelasnya.

Hambatan pertama adalah tekanan dari pemerintah Australia dan keluarga duo Bali Nine yang meminta penangguhan pemindahan. Kejagung mempertimbangkan sisi kemanusiaan dari keluarga Bali Nine tersebut. Sebab, keluarga meminta waktu yang lebih panjang untuk bisa saling bertemu. ’’Karena itu, kami akhirnya menunda,’’ ujarnya.

Alasan lain penundaan tersebut, tim eksekutor Kejagung telah memeriksa kondisi Lapas Nusakambangan. Hasilnya, ternyata ada beberapa hambatan teknis di penjara dengan keamanan maksimum tersebut. Antara lain, lokasi eksekusi yang hanya muat untuk 5–6 terpidana. ’’Lalu, ada masalah tempat isolasi yang juga perlu perbaikan,’’ jelasnya.

Tony menyatakan, untuk sel isolasi, ternyata diperlukan perbaikan, terutama ukuran dan kapasitas sel isolasi. Sebab, Kejagung membutuhkan sel isolasi yang lebih besar. ’’Biar nanti terpidana mati bisa dimasukkan dalam satu sel isolasi yang sama,’’ terangnya.

Selain itu, yang juga penting, ada permintaan dari petugas Nusakambangan agar pemindahan terpidana mati bisa dilakukan tiga hari sebelum eksekusi, mengingat minimnya fasilitas di Nusakambangan. ’’Biar tidak terlalu lama di Nusakambangan,’’ ujarnya.

Tony menuturkan, selain penundaan pemindahan, ada permintaan dari Jaksa Agung M. Prasetyo untuk memeriksa kejiwaan salah seorang terpidana mati. Yakni, Rodrigo Gularte, terpidana mati asal Brasil. ’’Masalah ini juga karena alasan kemanusiaan, Meski, tidak ada aturan yang melarang eksekusi terhadap terpidana mati yang sakit jiwa,’’ paparnya.

Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) Jawa Tengah Mirza Zulkarnain membantah bahwa Lapas Nusakambangan membutuhkan perbaikan sel isolasi dan lokasi eksekusi. Hal itu disampaikan Mirza setelah menghadiri acara penanggulangan HIV/AIDS di Lapas Besi, Selasa (17/2).

Dia menyatakan, Nusakambangan selalu siap menerima terpidana mati. Sebab, ruang isolasi sudah cukup memenuhi syarat, baik jumlah maupun ukurannya. ’’Masih sangat memadai,’’ tegasnya.

Mirza menyatakan bingung atas alasan penundaan dari Kejagung, yakni minimnya fasilitas ruang isolasi. Sebelumnya Tony menyatakan, ruang isolasi hanya cukup untuk lima orang. Untuk eksekusi gelombang kedua ini, korps Adhyaksa itu belum memastikan jumlah terpidana yang akan ditembak mati.

Sejumlah nama yang sudah pasti adalah Myuran, Andrew Chan, dan Sylvester Obiekwe dari Nigeria. Jumlah itu mungkin bertambah karena Kejagung berencana memindahkan terpidana mati dari empat lapas. Yakni, Palembang, Madiun, Grobogan, dan Jogjakarta.

Mirza menjelaskan, seharusnya kejaksaan memerinci lebih dahulu jumlah terpidana yang akan dieksekusi. Dengan demikian, Lapas Nusakambangan bisa menyiapkan ruangan. Namun, hingga kini belum ada jumlah yang valid dari kejaksaan. ’’Kalau seperti gelombang satu, kami siap. Kalau 100, memang kami tidak siap,’’ ujarnya di Dermaga Wijaya Pura.

Dia menambahkan, sebenarnya ruang isolasi lebih dari cukup. Asalkan, Kejagung memberi tahu jumlah terpidana yang ditembak mati. Namun, Mirza menyatakan, kini lapas hanya menunggu keputusan. ’’Tidak ada masalah. Bisa kami siapkan,’’ paparnya.

Kepala Divisi Pemasyarakatan (Kadiv PAS) Kanwil Kemenkum HAM Jateng A Yuspahruddin menjelaskan, kanwil dan Kejagung sudah berkoordinasi terkait dengan tempat. Jika memang Kejagung merasa tempat tidak representatif, pihaknya akan bertemu lagi untuk membahas permintaan kejaksaan.

Kejagung beralasan bahwa salah seorang terpidana mati asal Brasil, Rodrigo Gularte, dikabarkan mengalami gangguan jiwa. Kedutaan besar Negeri Samba itu pun sudah mengajukan surat ke lapas agar Rodrigo menjalani pemeriksaan psikologis lebih dahulu.

Menanggapi hal itu, Kepala Lapas (Kalapas) Pasir Putih Hendra Eka Putranto menyatakan sudah menerima surat permintaan pemeriksaan tersebut. Rodrigo pun sudah dibawa ke rumah sakit di Banyumas. ’’Namun, hasilnya belum keluar,’’ ungkapnya.

Hendra ragu atas permintaan duta besar Brasil itu. Sebab, setiap hari tindak-tanduk Rodrigo tidak mencerminkan orang yang memiliki gangguan jiwa. ’’Setiap hari dia berperilaku biasa. Layaknya orang sehat,’’ tuturnya.

Pada bagian lain, suasana di Dermaga Wijaya Pura terlihat masih normal. Belum ada penjagaan ekstraketat. Pembesuk pun masih bisa mengunjungi saudara mereka yang ditahan di Nusakambangan.

Dari pantauan media, tampak dua saudara Rodrigo di Dermaga Wijaya Pura. Dua perempuan itu terlihat membawa berkas. Setelah sempat mengantre di pos penjagaan, mereka naik kapal menuju Pulau Nusakambangan.

Hendra mengakui ada dua saudara Rodrigo yang berkunjung. Namun, dia belum tahu maksud dan tujuan mereka. ’’Iya, mereka saudara Rodrigo,’’ ucapnya. (jp/jdz)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *